FILSAFAT DEMOKRASI

Tulisan ini adalah hasil tugas S2 penulis di UI yaitu membuat sebuah tulisan tentang Filsafat Demokrasi, dimana tulisan ini menerangkan tentang asal mula lahirnya demokrasi.  
     
       Filsafat Demokrasi merupakan perkembangan nilai-nilai Demokrasi yang ada sejak zaman Yunani Kuno hingga Demokrasi lahir di Eropa Barat dan Amerika bagian Utara. Abad ini mencirikan kehidupan demokratis, tetapi menolak sistem demokratis. Socrates merupakan pemikir awal abad Yunani Kuno yang memiliki ajaran Etika dan Negara.[1] Menurut Socrates, warga negara Athena agar mengupayakan tercapainya “jiwa yang baik”. Tugas negara adalah memajukan kebahagiaan para warganegara dan membuat jiwa mereka menjadi sebaik mungkin. Sehingga penguasa negara harus memiliki pengertian tentang yang baik. Dasar inilah yang menjadikan Sokrates tidak setuju dengan pemerintahan demokratis di Athena, dimana para pemegang kekuasaan dipilih berdasarkan mayoritas suara yang belum tentu mengerti tentang “yang baik”.
            Selain Socrates, pemikir-pemikir abad Yunani Kuno seperi Plato dan Aristoteles tampaknya juga tidak sepakat dengan demokrarsi. Apalagi Plato sebagai muridnya, juga menyatakan sistem yang buruk karena hancurnya negara Athena terhadap serangan Sparta diakibatkan sistem demokrasi. Keruntuhan Athena akibat dari internal yang terjadi, yaitu disintegrasi dan disorientasi politik akibat diterapkannya sistem pemerintahan demokrasi.[2] Berbeda dengan Plato, Aristoteles tidak menampakkan ketidak setujuannya dengan demokrasi, hanya saja memiliki konotasi negatif terhadap demokrasi, yaitu kekuasaan yang dipegang oleh banyak orang (miskin, kurang terdidik) dan bertujuan hanya demi kepentingan mereka.
            Yunani Kuno merupakan negara yang disebut polis atau bisa disebut negara kota. Negara ini sering mengalami pertukaran sifat pemerintahan, dari monarki kepada aristokrasi, dari aristokrasi kepada tirani dan dari tirani ke demorkasi.[3] Demokrasi bisa diterapkan di Yunani Kuno, karena kekuasaan yang kecil dan tidak ada pembedaan tegas antara masyarakat dan negara. Negara adalah masyarakat dan sebaliknya masyarakat adalah negara.[4] Negara Yunani Kuno masyarakatnya hanya berjumlah 30.000 orang sehingga memungkinkan untuk saling mengenal. Selain itu penerapan demokrasi secara langsung juga dapat dilaksanakan secara baik.
            Seringnya terjadi pertukaran pemerintahan, membuat faktor ini menjadikan masyarakat Yunani Kuno melakukan pembicaraan berbagai persoalan hidup, utamanya masalah politik. Adanya kebebasan berbicara, hubungan negara dengan masyarakat dan masyarakat dengan negara, serta cara pandang masyarakat Yunani masa itu, menuntuk perbincangan politik dan berdiskusi.[5] Tetapi meskipun demokrasi langsung dapat diterapkan disana, sistem perbudakan dibenarkan bahkan Aristoteles membenarkan perbudakan tersebut.
            Demokrasi yang diterapkan Yunani Kuno adalah demokrasi yang egalitarianism atau kesetaraan dalam dunia modern ini. Karena prinsip demokrasi Yunani Kuno adalah pemerintahan banyak orang, bukan segelintir orang . Setiap warga negara memiliki hak yang sama dimata hukum dan tidak boleh ada diskriminasi dalam proses perumusan kebijakan. Karena itu, dalam perdebatan merumuskan kebijakan tidak ada pengecualian hak berbicara, baik itu dari kelas bangsawan maupun dari rakyat jelanta.[6]  
Perkembangan demokrasi justru mengalami kemunduran saat abad kegelapan, dimana ada dominasi gereja dan semua urusan negara harus bersumber dari agama. Nilai-nilai demokrasi mulai kembali berkembang saat runtuhnya dominasi gereja dan memasuki abad pencerahan, yaitu pemikir-pemikir seperti Hobbes, Locke, Montesquieu dan Rousseau. Salah satu pemikiran Hobbes yang dapat menyumbangkan demokrasi adalah tentang perjanjian masyarakat atau kontrak sosial.[7] Perjanjian ini antara individu dengan individu yang menyerahkan seluruh haknya kepada satu orang penguasa dan itu bernama Commonwealth atau Civitas. Pihak yang memeperoleh kekuasaan akan mewakili segenap mereka yang berjanji dan ini cukup diperoleh dengan suara terbanyak, bukan suara bulat. Prinsip ini sama dengan prinsip demokrasi yaitu suara mayoritas gagasan dari Robet Dahl.
            Perjanjian yang sebagai hasil pemikiran Hobbes memang belum sempurna karena Hobbes justru menciptakan penguasa otoriter. Gagasan tersebut disempurnakan oleh Locke yaitu perjanjian sosial dimana individu sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak alamiahnya kepada suatu lembaga kekuasaan tertinggi yaitu negara atau masyarakat politik. Dasar pembentukan negara ini untuk melindungi hak milik atau harta dan jiwa individu saat terancam bila keadaan alamiah tetap dipertahankan.[8] Negara tidak boleh campur tangan terhadap urusan masyarakat, karena setiap masyarakat memiliki kebebasan, dimana apabila dominasi negara dominan dalam mengatur rakyat maka menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat.
            Locke memiliki gagasan lembaga politik untuk mencegak kekuasaan absolut. Lembaga-lembaga tersebut disempurnakan oleh Montesquieu yang biasa disebut Trias Politika (Legislatif, Eksekutif, Yudikatif). Keberadaan lembaga ini menjadikan ciri sebuah negara yang demokrasi, karena terdapat prinsip cheks and balance untuk mencegah penyimpangan kekuasaan utamanya dua lembaga yaitu eksekutif dan legislatif.[9] Amerika Serikat mencontoh konsep tersebut sehingga di Amerika Presiden (eksekutif) tidak bisa membubarkan Parlemen (legislatif) dan sebaliknya, parlemen juga tidak semena-mena menjatuhkan Presiden. Rousseau juga menyumbangkan pemikirannya terhadap nilai demokrasi yaitu tentang kedaulatan rakyat. Konsep tersebut terdapat pada kontrak sosial Rousseau yaitu individu-individu menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang dimiliki kepada suatu kekuasaan bersama.[10]
            Rousseau juga melihat sebuah negara yang ideal menurutnya yaitu negara polis atau negara kota seperti Yunani Kuno, sehingga pemikirannya menjadikan setiap warga negara yang tidak terlalu banyak dapat menjadi pembuat keputusan atau biasa disebut demokrasi langsung.[11] Konsep-kensep tersebut menjadikan perkembangan demokrasi hingga saat ini. Indonesia sebagai negara demokrasi juga menerapkan itu, utamanya konsep Trias Politik dan cheks and balance sebagai konsep untuk mencegah kekuasaan absolut. Selain itu kebebasan individu dan Hak Asasi Manusia sebagai hasil pemikiran Locke juga dapat diterapkan di Indonesia hingga saat ini.
Referensi
Noer, Deliar (1982). Pemikiran Politik di Negara Barat. Jakarta: CV Rajawali.
Suhelmi, Ahmad (Cetakan ke-3 2007). Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tjahjadi, Simon Petrus L. (2004). Petualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.



[1] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004, hal 40-43
[2] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakaan Ke-3 2007, hal 42
[3] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, Jakarta: CV Rajawali, 1982, hal 4
[4] Ahmad Suhelmi, Op.cit., hal 27
[5] Ibid., hal 28
[6] Ibid., hal 30-31
[7] Deliar Noer, Op.cit., hal 79
[8] Ahmad Suhelmi, Op.cit., hal 196
[9] Ibid., hal 229
[10] Ibid., hal 251
[11] Ibid., hal 253

Komentar

  1. Assalamualaikum saya izin mengambil dan memahami materi yang bung tulis , bolehkan , saya akan mencantumkan nama bung...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

CRITIKAL REVIEW BUKU FRANZ MAGNIS SUSENO: ETIKA JAWA

REVIEW BUKU SOEMARSAID MOERTONO: NEGARA DAN USAHA BINA-NEGARA DIMASA LAMPAU

Kontrak Sosial Montesquieu dan Rousseau