CRITIKAL REVIEW BUKU FRANZ MAGNIS SUSENO: ETIKA JAWA
Tulisan ini merupakan tugas kuliah dari penulis pada semester satu lalu, yaitu tugas untuk mereview dan mengkritik buku dari Franz Magnis Suseno tentang Etika Jawa.
Buku ini menjelaskan tentang kehidupan masyarakat
Jawa dari segi Filosofis. Menarik untuk dibaca dalam buku ini karena sebuah
kebudayaan yang melekat dan menjadi sebuah acuan dalam berkehidupan berbangsa
dan bernegara. Masyarakat Jawa terletak pada Pulau Jawa namun terbagi dalam
beberapa daerah dimana masyarakat Jawa paling banyak terletak di Jawa Timur dan
Jawa Tengah.
Masyarakat Jawa terbagi dalam tiga kelas
yaitu wong cilik, kaum santri dan kaum priyayi,[1]
kaum wong cilik merupakan kaum yang
rendah dalam masyarakat Jawa biasanya berprofesi sebagai petani, buruh dan
pekerjaan rendah lainnya, sedangkan kaum priyayi
merupakan kaum tertinggi dalam masyarakat Jawa dimana mereka adalah pegawai
pemerintahan atau orang-orang intelektuan, tetapi mereka tetap menjunjung
budaya jawa tradisional seperti ritual-ritual atau sesaji. Masyarakat ini biasanya
disebut sebagai kaum abangan atau kaum Jawa Kejawen, dimana masyarakatnya orang
Islam namun tetap menjunjung budaya lama atau pra-Islam masuk ke Jawa. Kaum
yang ketiga adalah kaum santri merupakan
kaum yang berada dikelas menengah atau bukan priyayi maupun wong cilik,
dimana kaum tersebut merupakan kaum yang menjunjung nilai-nilai Islam dengan
shlat lima waktu, meramaikan masjid, Jumatan saat hari Jumat dan nilai-nilai
Islam yang lain. Kaum ini merupakan kaum yang kebanyakan dari wong cilik untuk belajar mendalami Islam
sehingga bisa disebut juga kaum yang berada di atasnya wong cilik namun dibawahnya priyayi.
Budaya
Jawa merupakan sebuah proses pencampuradukkan
berbagai unsur aliran atau faham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk
abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, yang biasa disebut
sinkritisme.[2]
Banyak budaya-budaya jawa yang memang mengalami pencampuran dengan budaya
Hindu-Budha. Contoh misalnya, budaya slametan,
kenduren, tumpengan merupakan budaya Jawa yang dileburkan kedalam kepercaya
Islam. Tradisi ini secara turun-temurun saat ini masih sering dilakukan oleh
masyrakat Jawa khususnya di daerah pedesaan, contoh saja saat panen, saat ada
acara nikahan yaitu walimahan atau kenduren, ada juga yang mengadakan acara
40 hari, 100 hari, 1000 hari orang meninggal yang biasa disebut tahlilan.
Jawa
juga mengenal tentang kekuasaan, dimana kekuasaan menurut paham masyarakat Jawa
adalah ungkapan energy ilahi yang tanpa bentuk, yang selalu kreatif meresapi
seluruh kosmis. Kekuasaan bukanlah sesuatu gejala khas sosial yang berbeda dari
kekuatan-kekuatan alam, melainkan ungkapan kekuatan kosmis yang dapat kita
bayangkan sebagai semacam fluidum yang
memenuhi seluruh kosmos.[3]
Pengertian ini merupakan sebuah kekuasaan yang memiliki sebuah kesaktian,[4] siapa
yang menjadi penguasa atau memegang kekuasaan dialah orang yang memiliki
kesaktian atau mempunyai kekuatan. Dengan kesaktian itulah masyarakat Jawa
pedesaan menganggap lurah sebagai pemimpin desanya adalah orang yang angker
atau sakti.[5]
Kekuasaan mistis juga diungkapkan dari refrensi lain, yaitu tentang kekuasaan
Raja, orang Jawa percaya bahwa hanya rajalah satu-satunya perantara yang
menghubungkan mikrokosmos manusia dengan makrokosmos para dewa.[6]
Selain itu Jawa
mengenal Prinsip Kerukunan, Prinsip Hormat dan Keselarasan Sosial. Masyarakat
Jawa lebih menghindari konflik-konflik yang bersifat kekerasan tetapi lebih
menonjolkan sikap Gotong Royong itu adalah sebuah prinsip kerukunan. Rukun diartikan sebagai keadaan yang
harmonis, dalam keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa ada perselisihan dan
pertentangan untuk saling membantu.[7] Prinsip
Kehormatan juga demikian, masyarakat Jawa mengenal bahasa ngoko dan bahasa karma, jadi
untuk berbicara dengan individu sesama teman dan atau individu yang lebih tua,
Jawa sudah membedakan cara berbicaranya.[8] Contoh
saja bahasa krama, bahasa ini
digunakan kepada individu yang lebih tua, sedangkan berbicara dengan individu
yang lebih muda, sesama teman atau seumuran menggunakan bahasa ngoko, kata “tidak mau” dalam bahasa karma artinya “mboten” sedangkan dalam bahasa ngoko
artinya “emoh”. Bahkan masyarakat Jawa mengenal istilah wedi, isin dan sungkan dalam menghadapi individu-individu. Maksud dari ketiga kata
wedi, isin dan sungkan adalah sebuah perasaan yang memang sudah ditanamkan oleh
anak-anak jawa dalam situasi-situasi yang menuntut sikap hormat.[9]
Kelebihan
dalam buku etika Jawa ini menjelaskan secara detail tentang kehidupan
masyarakat hingga bagaimana pengaruh dari kehidupan masyarakat Jawa yang memang
secara nyata ada dan masih dipertahankan hingga zaman sekarang ini, contoh saja
tentang etika wayang, dimana masyarakat Jawa menggunakan nilai-nilai kehidupan
dari cerita-cerita wayang bahkan hingga peran masing-masing dari wayang
tersebut. Menjelaskan tentang hal mistik masyarakat Jawa, kehidupan
berkeluarga, pandangan dunia Jawa dan Kebijaksanaan Hidup juga dijelaskan didalamnya,
tetapi semua yang dijelaskan ini memiliki kekurangan juga.
Kekurangan
dari penjelasan buku Etika Jawa ini lebih condong kekehidupan masyarakat Desa
dan lebih menekankan pada sebuah pendekatan yang disebut Varian Budaya.
Pendekatan itu merupakan pendekatan dari Politik Desa dimana suatu Desa masih
mempertahankan hal-hal yang menyangkut tentang kebudayaan terutama kebudayaan
Jawa. Selain itu penjelasan dalam buku kurang mendalam pada inti permasalahan
dan studi empiris atau contoh kasus, tetapi justru buku ini terlalu panjang
lebar menjelaskan keadaan masyarakat Jawa yang justru menjadikan penjelasannya
masih luas atau universal.
DAFTAR
PUSTAKA
Moertono,
Soemarsaid. (1985). Negara dan Usaha
Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataran II Abad XVI sampai
XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suseno, Franz
Magnis. (1984). Etika Jawa: Sebuah
Analisis Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
[1] Franz Magnis- Suseno. Etika Jawa : Sebuah Analisis Falsafi tentang
Kebijakan Hidup Jawa. Jakarta : PT Gramedia, 1984. Hlm : 12-13.
[4] Orang yang dipenuhi oleh
kekuasaan itu bisa dikalahkan dan tak dapat dilukai, mereka itu sekti. Kekuatan yang membuat sakti,
disebut kesakten. Kekuasaan politik
adalah ungkapan kesakten, maka tidak
merupakan sesuatu yang abstrak, sesuatu nama belaka bagi hubungan antara dua
unsul yang konkret, yaitu manusia atau kelompok. (Suseno, hlm 99)
[6] Soemarsaid Moertono. Negara
dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau : Studi Tentang Masa Mataram II Abad
XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985. hlm 42
[9] Wedi
artinya takut,
baik sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut terhadap
akibat kurang enak suatu tindakan, Isin berarti
malu, juga dalam arti malu-malu, merasa bersalah, dan sebagainya, Sungkan mempunyai arti yang sama dengan
malu tetapi lebih kearah yang positif, karena malu dalam artian ini merupakan
cara seorang anak merasa malu terhadap orang asing. (Suseno, hlm 63)
Komentar
Posting Komentar