REVIEW BUKU SOEMARSAID MOERTONO: NEGARA DAN USAHA BINA-NEGARA DIMASA LAMPAU
Buku ini menjelaskan tentang masa Mataram II dalam
membina suatu negara atau kerajaan dalam konteks budaya Jawa dan masuknya Islam
di tanah Jawa. Kebudayaan jawa merupakan budaya lama yang bersifat magis dan
banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha. Suatu kerajaan pasti ada seorang
pemimpin, buku ini menjelaskan tentang hubungan Raja dan Rakyat untuk mengatur
sebuah negara atau kerajaan. bahwa hubungan antara keduanya dalam tradisional
Jawa, hubungan tersebut lebih merupakan ikatan pribadi dan akrab, saling
menghormati dan bertanggung jawab bahkan cenderung kearah hubungan ikatan
keluarga, inilah yang disebut sebagai hubungan kawula-gusti (hamba dan tuan).[1]
Hubungan
kawula-gusti ini bertujuan untuk
tercapainya “kesatuan” yang sesungguhnya dengan Tuhan. Karena tujuan tersebut
adalah tujuan tertinggi dalam hidup masyarakat Jawa. Hubungan ini merupakan
sebuah sifat-sifat yang disebut Tuhan dan manusia yaitu suksma (sukma) atau bisa disebut nur (cahaya). Karena masayarakat jawa mempercayai dan memahami hal
itu, sehingga pentingnya sebuah keakraban dan pribadi dalam menentukan
komunikasi sosial dalam masyarakat jawan, bahkan menjebatani jurang-jurang yang
lebar yaitu jurang pangkat dan darah.[2] Hubungan kawula-gusti ini merupakan hubungan yang
saling ketergantungan yang erat antara dua unsur yang berbeda namun tak
terpisahkan, dua unsur yang sebenarnya aspeknya sama. Hubungan tersebut dan
adanya dua unsur itu masyarakat Jawa menyebutnya sebagai Sinkritisme yaitu
menyatunya unsur-unsur yang berlainan menjadi satu.
Hubungan
raja dan rakyat itu dapat dicontohkan dengan adanya keris dalam budaya Jawa.
Keris memiliki sarung dan mata, dimana sarung disamakan dengan rakyat dan mata
disamakan dengan raja. Jadi ada sebuah hubungan ketergantungan diantara
keduanya, sarung melindungi mata dari kerusakan dan mata melindungi sarung agar
jangan sampai dicuri atau hilang.[3] Selain keris, benda yang
menandakan hubungan raja dan rakyat adalah cincin, raja sebagai sesotya (batu permata) dan rakyat embanan (ikatan). Hubungan raja dan
rakyat juga tergambarkan dalam budaya wayang bagi masyarakat Jawa. Wayang
merupakan hiburan bagi masyarakat Jawa yang memiliki nilai-nilai penting untuk
pelajaran masyarakat Jawa, karena didalamnya diungkapkan sebuah perilaku
manusia dari yang paling hina hingga sampai kepada budi luhur (moralitas
tinggi), kelemahan kecil manusia atau dewa sampai kepada kekuatan yang tak
dapat disangkal, dari tipu daya diplomasi sampai kepada berlakunya takdir yang
tak dapat ditawar-tawar, dari permainan kata yang jenaka sampai kepada dialog
yang bersifat mistik.[4]
Ada tiga konsep pokok hubungan raja
dengan rakyat dalam sebuah pemikiran jawa yaitu:
1. Hubungan
pribadi yang akrab yang disertai oleh perasaan saling mengasihi dan menghormati
dianggap sebagai pola atau model baku dalam komunikasi sosial.
2. Takdir
menetapkan kedudukan manusia dalam masyarakat apakah ia dilahirkan sebagai abdi
atau tuan. Akibatnya manusia tidak punya pilihan lain kecuali melakukan
kewajibannya seperti yang telah ditentukan oleh takdir. Kedua faktor ini
menghasilkan suatu jenis praktek pemerintahan.
3. Penguasa
(dan para pejabatnya), dari segi kebijakansanaan pemerintahan praktis, harus
memperhatikan para warganya seperti seorang tua mengasuh anak-anaknya. Dengan
demikian sesungguhnya sang penguasa memiliki sikap keunggulan (superioritas)
yang melindungi, sedangkan yang diperintah memiliki sikap pribadi yang tulus.[5]
Konsep Jawa mengenal dengan hubungan
mikrokosmos dan makrokosmos, dimana mikrokosmis adalah dunia manusia dan
makrokosmos adalah dunia supramanusia. Keduanya saling berhubungan dan yang
menjadi eksponen antara keduanya adalah raja atau ratu. Keduanya memiliki
faktor kesejajaran dan faktor timbal balik. Raja sebagai penghubung keduanya
bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang damai dan tentram dalam ranah dunia
manusia. Apabila ketentraman itu justru berkurang atau terjadinya konflik, maka
bencana akan diturunkan yang dilakukan dalam ranah makrokosmos. Hal ini
akhirnya ditentang saat masuknya Islam, karena antara Tuhan dan manusia tidak
boleh disamakan, raja itu manusia, tidak boleh disamakan dengan Tuhan, itulah
ungkapan dari Seh Siti Jenar.[6] Teologi Islam menempatkan
raja tidak semulia dan seagung sebelumnya, yaitu kedudukan kalipatullah, wali Tuhan di dunia.
Sejak Islam masuk di tanah Jawa,
budaya-budaya Jawa tidak ditinggalkan begitu saja, melainkan budaya-budaya ini
tetap ada bahkan ajaran Islam yang akhirnya mengikuti budaya Jawa. Kerajaan
Mataram II merupakan kerajaan Islam dan sampai sekarang masih berdiri. Ada dua
daerah yang menjadi tempat kerajaan Mataram II yaitu di Yogyakarta dan
Surakarta. Masuknya Islam mempengaruhi gelar raja-raja Mataram Islam. Raja
Yogyakarta disebut sabagai Sultan sedangkan
raja Surakarta disebut sebagai Susuhunan.[7] Kekuasaan raja yang
awalnya ada penyamasesuaian raja-dewa dan setelah masuknya Islam hal itu
dihapus, ternyata kekuasaan mutlak oleh raja masih tetap berkembang dan tidak
hilang dari kedua kerajaan Islam di Indonesia sampai saat ini, jadi tetap ada
kekuasaan raja secara menyeluruh dan mutlak atas para kawula.
Perwujudan hubungan makrokosmos dan
mikrokosmos juga ada dalam kekuasaan raja setelah Islam masuk, contohnya
seperti yang dilakukan kerajaan Yogyakarta dengan mengadakan sebuah acara
arak-arakan yang membawa pusaka kramat
Kanjeng Kyai Tunggul Wulung, dilakukan pada tahun 1932 dan 1948 dimana upacara
tersebut bertujuan untuk memulihkan ketertiban dan mempercayai adanya kekuatan
pusaka, dimana pusaka itu berupa tombak, keris atau bendera. Itu sebabnya, nama
raja Yogyakarta dan Surakarta serta beberapa pangeran terkemuka biasanya
mengandung arti keteguhan dan kemantapan, contohnya Paku (dari Paku Buwana) dan
Hamengku (dari Hamengkubuwana) yang berarti “memangku” atau memelihara.[8]
Hingga saat ini upacara-upacara kerajaan
masih tetap ada dan dipercaya masyarakat utamanya adalah masyarakat di
Yogyakarta dan Surakarta. Namun tetap tidak meninggalkan nilai-nilai Islam yang
terkandung, contohnya saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, alun-alun utara
Yogyakarta selalu ada sebuah acara yang disebut Sekaten selama 7 hari dan saat tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW
ada Grebek Mulud yang diarak-arakan
lalu dibagikan kepada masyarakat. Satu Muharram atau 1 suro sebagai tahun baru
Islam dijadikan upacara adat yaitu cuci keris, ini adalah budaya Jawa yang juga
merupakan perpaduan dengan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Moertono, Soemarsaid. (1985) Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa
Lampau: Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
[1] Soemarsaid
Moertono. Negara dan Usaha Bina-Negara di
Jawa Masa Lampau: Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1985, hlm 17
Komentar
Posting Komentar