RESUME BUKU PRESIDENSIALISME SETENGAH HATI Dari Dilema Ke Kompromi (Hanta Yuda AR)
Dalam
buku ini pembahasan paling utama adalah sebuah studi yang mengkombinasikan
tentang sistem Presidensil dan Multipartai di Indonesia era pemerintahan
SBY-JK. Pembahasan tentang kepartaian selalu menjadi perbincangan publik. Sebelumnya
pembahasan ini berawal dari sebuah sistem pemerintahan Presidensil. Sistem
pemerintahan Presidensil merupakan sistem yang berpanduan terhadap negara
Amerika. Dalam sistem ini Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh
rakyat. Dalam sistem ini terdapat sebuah pemisahan kekuasaan antara Legislatif
dan Eksekutif. Presiden sebagai pelaksana kebijakan menjadi kepala Eksekutif.
Pemilihan Langsung bertujuan agar Rakyat dapat memilih kepala Negara dan kepala
pemerintahannya secara Langsung. Dan termasuk di Indonesia, sistem Presidensil
ini baru penuh dijalankan oleh Indonesia pada tahun 2004. Dan rakyat bisa
memilih langsung kepala Negara dan kepala Pemerintahannya. Dan baru memiliki
roh pada era Reformasi sejak Amandemen UUD 1945.
Presiden adalah kepala pemerintahan
dan kepala negara. Dalam sistem Presidensil Presiden adalah kepala Pemerintahan
dan kepala Negara. Dimana kedua jabatan tersebut diemban oleh satu orang yaitu
Presiden. Sehingga Presiden memiliki hak-hak sebagai kepala pemerintahan dengan
mengendalikan birokrasi yang ada dalam ranah eksekutif dan dia juga sebagai
kepala Negara yang dia juga dihormati oleh warga negaranya dan negara-negara
lain.
Sejarah dan Budaya Politik
Pembahasan
selanjutnya adalah Sistem Multipartai yang saat ini dianut oleh Indonesia.
Semua itu ada klasifikasi kenapa Indonesia menjalankan sebuah sistem
Multipartai. Indonesia bisa menjalankan sistem ini karena sejarah dan budaya
politik dari Indonesia itu sendiri. Bahwa sejarah merupakan faktor yang memberi
pengaruh terhadap pelembagaan sistem kepartaian secara tidak langsung. Misalnya
perjalanan kepartaian suatu negara yang telah lama melembagakan sistem
multipartai, masyarakat secara tidak langsung sudah terinternalisasi dengan
perbedaan dan heterogenitas, sehingga akan memengaruhi konstruksi budaya
politik mastarakat. Selain itu budaya politik di Indonesia yang memang sudah
berakar sejak jaman penjajahan. Budaya politik yang tumbuh dan berkembang
melalui interaksi antar berbagai macam struktur. Budaya politik tampak mencair
dalam berbagai bentuk momen politik contohnya pemungutan suara saat pemilihan
umum. Dan budaya politik yang sangat berpengaruh di Indonesia adalah Politik
aliran, realitas ini melihat bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk.
Untuk dapat melihat ideologi formil
di Indonesia adalah melalui pendekatan prespektif Giovani Sartori. Berdasarkan
jarak Ideologi dan membaginya menjadi tiga bagian yaitu Pluralisme Sederhana,
Pluralisme Moderat dan Pluralisme Ekstrem. Indonesia terletak dalam Pluralisme
Ekstrem dengan menggunakan sistem Multipartai tersebut. Dan Pluralisme Ekstrem
selalu berada didalam negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Karena
secara sosio-kultural terbilang majemuk. Dan banyaknya partai tersebut
menjadikan banyaknya ideologi di Indonesia. Era Reformasi ini Indonesa menganut
sistem Pluralisme Ekstrem yang bergerak ke arah Sentrifugal dimana berpotensi
mengalami perpecahan menjadi partai-partai baru. Dan dalam sistem ini sangat mengandalkan
Koalisi antar Partai.
Sistem Partai
|
Kutub
|
Polarisasi
|
Arah
|
Sederhana
|
Bipolar
|
Tidak
ada
|
Setripetal
|
Moderat
|
Bipolar
|
Kecil
|
Sentripetal
|
Ektrem
|
Multipolar
|
Besar
|
Sentrifugal
|
Selanjutnya adalah terfragmentasinya
kekuatan politik dalam parlemen. Rendahnya tingkat pelembagaan partai akan
berpengaruh dalam terfragmentasinya partai. Partai di luar dan didalam parlemen
akan menghiasi multipartai di Indonesia. Selain itu persaingan didalam parlemen
juga demikian, antar fraksi-fraksi di parlemen bersaing antara partai eksekutif
dan partai oposisi. Selanjutnya adalah fenomena Koalisi. Fenomena ini
menjelaskan tentang koalisinya partai agar mendapatkan suara mayoritas. Karena
apabila tidak dilakukan koalisi partai dalam pemerintah, maka suara Presiden
terpilih akan minoritas dalam parlemen.
Corak Koalisi partai dalam sistem
Presidensial dan Multipartai terbilang rapuh. Dimana dalam koalisi pemerintah
jumlah partai bisa semakin bertambah. Sistem multipartai merupakan
heterogenitas golongan dan kepentingan masyarakat. Selanjutnya adalah konsensus
dari pemerintah koalisi multipartai adalah koalisi pemerintah tidak menjadikan
ideologi partai atau sebagai faktor determinan, tetapi lebih didasarkan pada
political interest kekuasaan saja. Karakterisik institusionalisasi sistem
multipartai di Indonesia adalah rendahnya tingkat pelembagaan,
terfragmentasinya kekuatan politik di Parlemen dan munculunya koalisi parpol
dengan ikatan yang rapuh dan pragmatis.
Implikasi Perpaduan
Presidensialisme dan Multipartai
Sistem Multipartai merupakan sebuah
struktur politik. Sedangkan sistem Presidensil merupakan struktur konstitusi.
Keduanya akan berpengaruh dalam corak dan perilaku institusi kepresidenan dan
personalia kepresidenan, begitu juga sebaliknya. Implikasi utama penerapan
multipartai di Indonesia adalah pelembagaan partai yang rendah dan
terfragmentasinya kekuatan politik di Parlemen. Dalam problematikan politik,
muncul beberapa aspek kompromi pola relasi Presiden dan Parlemen. Aspek
kompromi ini akan berpengaruh terhadap relasi antara presidensial dan struktur
Presiden baik secara Institusi maupun personal Presiden.
Pertama, Intervensi partai politik
atau sebaliknya terhadap Presiden, akomidasi Presiden terhadap kepentingan
partai Politik dalam pengangkatan/pemberhentian partai Politik. Kedua, Rapuhnya
ikatan koalisi partai. Ketiga, Adanya kontrol Parlemen terhapat pemerintah yang
cenderung keblabasan atau berlebihan sehingga mengganggu stabilitas pemerintah.
Keempat, perjalanan sering kali dibayangi ancaman impeachment dari parlemen dan
presiden masih rentan dimakzulkan karena alasan politis/adanya kebijakan yang
ditentang parlemen. Implikasi selanjutnya, empat aspek politik yang mereduksi
struktur kekuasaan presiden secara eksternal itu, baik secara langsung maupun
tidak langsung, akan mempengaruhi struktur kekuasaan Presiden secara Internal.
Intervensi Partai Politik dalam
kabinet akan mereduksi kontruksi kekuasaan dan kewenangan Presiden (hak
preogratif). Akibatnya pengangkatan kabinet yang seharusnya menganggkat orang-orang
yang Profesional cenderung mengedepankan akomodasi politik. Selain itu untuk
menjaga stabilitas politik, koalisi antar parpol di parlemen harus mengikuti
koalisi parpol di kabinet. Sehingga komposisi dan konfigurasi secara internal
menjadi kabinet koalisi dan pelangi. Presiden haru mengakomodasi kepentingan
partai politik melalui pengangkatan menteri dari unsur partai politik.
Ada empat aspek kompromi internal,
pola interaksi Presiden dengan wakil, relasi Presiden dengan menteri, komposisi
struktur kabinet dan hak preogatif Presiden yang berpotensi muncul dilema
perpecahan Presidensialisme dan multipartai pragmatis. Pertama, tereduksi hak
progesif Presiden. Kedua, komposisi kabinet koalisi. Ketiga, adanya dualisme
loyalitas menteri dari unsur parpol. Keempat, penyesuaian relasi Presiden dan
wakil Presiden.
Kompromi Eksternal
Penerapan Presidensialisme dalam
konteks multipartai pragmatis atau presidensialisme kompromis cenderung
memunculkan intervensi partai politik dan presiden cenderung mengakomodasi
kepetingan partai politik. Sistem Presidensialisme dan multipartai juga dapat
menyebabkan disharomnisasi antara Presiden dan Parlemen karena sulitnya
mendapatkan mayoritas didalam Parlemen.
Pengangkatan dan pemberhentian
kabinet merupakan hak mutlak oleh Presiden. Presiden tidak seenaknya dalam
penentuan kabinet tersebut. Ada intervensi-intervensi yang dilakukan oleh
Partai Politik. Karakteristik Presidensial dan multipartai yang pragmatis
cenderung rapuh. Kerapuhan tersebut karena, pertama, kedekatan partai politik
tidak bedasarkan Ideologi melainkan kekuasaan saja. Kedua, komposisi dan jumlah
partai koalisi selalu berubah ubah. Presidensialisme dalam sistem multipartai
justru memiliki posisi antara eksekutif dan legislatif seimbang. Seharusnya
Presiden mempunyai kekuatan lebih dari pada parlemen. Sedangkan sebaliknya
apabila disuatu negara tersebetut tidak multi partai, justru Partai tidak
terfragmentasi, pelembagaan baik dan idelogi juga kuat.
Selain itu dalam sistem Presidensil
ini terjadi pemilihan eksekutif dan legislatif secara terpisah sehingga bisa
saja Presiden berasal dari partai kecil atau partai minoritas. Konsekuensinya
Preiden harus melakukan kompromi untuk menjalin hubungan harmonis kepada
Parlemen. Pasang surut hubungan legislatif dan eksekutif adalah keniscayaan
sistem demokrasi. Kebijakan Publik yang diambil oleh eksekutif memang
semestinya diawasi oleh legislatif. Namun tarik menarik kepentingan politik dan
konflik legislatif serta eksekutif dalam sistem presidensil dapat menyebabkan
pemerintahan menjadi tidak efektif.
Dalam sistem Parlementer memang sangat
mudah untuk menjatuhkan kabinet dengan cara memberikan mosi tidak percaya.
Namun dalam sistem Presidensil, Presiden bisa jatuh apabila presiden melanggar
hukum. Dan ini bisa saja menjadi permainan Parlemen untuk menjatuhkan Presiden
atau biasa di sebut pemazulan Presiden. Ada juga tentang dualisme loyalitas
menteri. Seharusnya kabinet adalah pembantu Presiden sehingga loyalitas menteri
harus penuh. Namun karena memiliki sistem Multipartai, Menteri tidak hanya
loyalitas di kabinet melainkan juga mereka loyalitas terhadap Partai.
Dalam sistem Presidensil dengan
sistem Multipartai juga dapat menimbulkan keretakan antara Presiden dan Wakil
Presiden. Diamana keduanya adalah satu paket yang nantinya akan dipilih oleh
Rakyat. Presiden memang salah satu pimpinan tertinggi. Namun apabila Presiden
sebagai pimpinan memiliki suara minoritas partainya di parlemen dibandingkan
wakil Presidennya, maka bisa saja keretakan itu terjadi. Karena tingginya proses
tawar wakil presiden. Padahal Presiden adalah kepala negara dan kepala
pemerintahan yang memiliki hak prerogratif namun ternyata wakil Presiden
memiliki kekuatan Parlemen mayoritas lebih besar.
Tipologi Presidensialisme
Dalam sistem Presidensialisme yang
multipartai mengalami penurunan efektivitas sistem presidensial dengan
multipartai. Namun penurunan tersebut bukan berarti gagalnya sistem
Presidensil. Jadi memang dalam sistem in bisa saja Presiden merupakan minoritas
di parlemen. Tapi semua itu bukan berarti gagal, melainkan bisa saja
sebaliknya. Bahwa apabila Presiden hegemonik dan bisa mengendalikan partai dan
parlemen, pemerintah akan mengarah pada keotoriteran. Seperti yang pernah
dilakukan oleh Soeharto pada masa Orde baru. Dan disini benar-benar presiden
sangat kuat sehingga pemerintahan menjadi efektiv, melahirkan stabilitas
pemerintahan dan memperkuat demokrasi.
Berdasarkan tingkat efektivitasnya,
ada empat tipologi institusionalisasi sistem Presidensialisme efektif, yaitu
desain Institusi Politik dan bangunan sistemnya (struktur konstitusi dan
struktur politik) kokoh, personalitas dan gaya kepemimpinan presiden juga kuat.
Selanjutnya adalah Presidensialisme akomodatif, yaitu desain institusi Politik
dan bangunan sistemnya kokoh, tetapi personalitas kepemimpinan presiden lemah.
Selanjutnya Presidensialisme konfrontatif, yaitu desain institusi politik dan
bangunan sistemnya rapuh, tetapi personalitas kepemimpinan presiden kuat. Dan
yang terakhir adalah Presidensialisme reduktif (setengah hati), yaitu desain
isntitusi politik dan bangunan sistemya rapuh dan personalitas kepemimpinan
presiden lemah.
Tipologi
|
Personalitas kepemimpinan
Presiden
|
Struktur Konstitusi dan desain
institusi
|
Struktur kepartaian di Parlemen
|
Ideologi partai
|
Kontrol Parlemen
|
Karakter koalisi
|
Presidensialisme
efektif
|
kuat
|
kokoh
|
Multipartai
sederhana atau dua partai
|
kuat
|
Efektif
(Checks and Balances) |
Solid
|
Presidensialisme
Akomodatif
|
lemah
|
kokoh
|
Multipartai
sederhana atau dua partai
|
lemah
|
Efektif
(Checks and Balances) |
solid
|
Presidensialisme
Konfrontatif
|
kuat
|
rapuh
|
Multipartai
tidak sederhana (ekstrem)
|
lemah
|
Over
(legislative heavy)
|
Cair
|
Presidensialisme
Reduktif (Setengah hati)
|
lemah
|
rapuh
|
Multipartai
tidak sederhana (ekstrem)
|
lemah
|
Over
(legislative heavy) |
Cair
|
Selanjutnya adalah Presidensial
efektif merupakan prinsip-prinsip sistem presidensial bersinergi dengan sistem
kepartaian, ditopang personalitas dan gaya kepemimpinan presiden yang kuat.
Selain ditopang personalitas kepemimpinan presiden yang kuat, struktur konstitusi
dan desai institusi politik juga kuat dan tertata sesuai prinsip
presidensialisme. Penerapan presidensialisme kompromis (kombinasi
presidensialisme dan multipartai) tidak selamanya berakhir pada tereduksinya
prinsip normatif presidensialisme. Kompromi penerapan presidensialisme dalam
konteks multipartai memungkinkan sistem presidensial dan pemerintah berjalan
efektif jika multipartai tidak terlalu terfragmentasi atau multipartai
sederhana dengan ikatan koalisi yang kuat dan solid. Meskipun Presiden tersebut
posisinya minoritas.
Selanjutnya adalah presidensialisme
akomodatif secara umum desain institusi politik dan bangunan struktur sistemnya
sudah memenuhi karakteristik ideal, tetapi personalitasnya dan gaya
kepemimpinan presiden sangat lemah dan belum memenuhi karakteristik
presidensialisme secara umum. Konstruksi konstitusi dan desai isntitusi politik
sudah kokoh, tetapi personalitas dan gaya kepemimpinan presiden cenderung
lemah. Hal ini terjadi apabila efektifitas sistem kosntitusi dan sistem politik
berjalan sesuai prinsip presidensialisme tetapi tidak ditopang personalitas dan
gaya kepemimpinan presiden yang kuat. Personalitas kekuasaan presiden lemah,
cenderung kompromistik dan akomodatif terhadap kepentingan partai politik atau
parlemen. Meskipun bangunan konstitusi sudah solid dan kokoh, presiden
cenderung masih memiliki kekhawatiran sehingga mendorong presiden untuk tetap
akomodatif.
Selanjutnya adalah Presidensialisme
konfrontatif, terjadi apabila bangunan kosntitusi dan desain institusi politik
masih rapuh, serta sistem kepartaian juga kurang kondusif. Sementara
personalitas dan gaya kepemimpinan presiden relatif kuat dan cenderung
melakukan perlawanan secara konfrontatif dalam berhadapa dengan parlemen.
Kompromi-kompromi politik yang muncul dalam presidensialisme konfrontasi akan
mengarah pada penurunan kualitas dan efektifitas sistem presidensial.
Pemerintahan tetap sulit berjalan secara karena terlaku kuatnya posisi parlemen
dan parpol. Karena itu, presidensialisme konfrontatif juga ditandai dengan
kuatnya posisi partai politik dan parlemen dihadapan presiden. Namun, presiden
cenderung melakukan perlawanan.
Selanjutnya adalah presidensialisme
reduktif (setengah hati) terjadi apabila desain institusi politik dan struktur
konsitusi masih rapuh dan munculnya undang-undang di bawah kosntitusi yang
mereduksi prinsip presidensialisme dalam konstitusi. Presidensialisme dalam
situasi ini tidak bisa berjalan secara efektif. Presidensialisme setengah hati
juga mungkinkan bergeser menuju presidensialisme efektif jika struktur
konstitusi dan desain institusi politik yang menopangnya sudah kokoh melalui
amandemen konstitusi dan revisi perundanganan.
Metamorfosisi Presidensialisme
Indonesia
Perjalanan isntitusionalisasi sistem
presidensial di Indonesia mengalami pergolakan dan pasang surut dalam sejarah
perpolitikan Indonesia. Jika dicermati, baik praktik politik maupun prinsip
presidensial dalam konstitusi, pelembagaan sistem presidensial sudah dimulai
sejak sehari stelah Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka dan
berdaulat. Beberapa prinsip dasar sistem presidensial yang sudah dirumuskan
dalam kosntitusi UUD 1945 diantaranya adalah posisi presiden sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan, posisi presiden dan parlemen yang
bersifat mandiri, dan kekuasaan presiden membentuk kabinet.
Karakteristik itu disebabkan faktor
sistem politik yang sedang berlaku maupun faktor corak kepemimpinan saat itu.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, sistem presidensial lebih diposisikan
sebagai sistem percobaan bagi negara yang sedang mencari bentuk menjalankan
demokrasi yang sangat fluktualif. Bahkan berdasarkan konsensus para elite
politik saat itu, sistem presidensial sempat diganti dengan sistem
parelementer. Era pemerintahan Presiden Soeharto, sistem presidensial
diterapkan secara pincang tanpa disertai checks and balances antara presiden
dan parlemen. Substansi sistem presidensial tenggelam dibawah penguasa yang
otoriter dan hanya dijadikan sebagai simbol tanpa roh sistem pemerintahan.
Sistem presidensial mulai mengalami metamorfosisi ketika diterapkan diera
reformasi seiring dengan diamandemennya UUD 1945.
Kesimpulan
Jadi, pada kesimulannya adalah bahwa
sistem Presidensil dan sistem Multipartai dapat menimbulkan kerapuhan dalam
kondisi Politik di Indonesia. Karena saat ini Partai-partai masih
terfragmentasi yaitu masih mudahnya adanya perpecahan dalam kubu partai sehingga
dapat menimbulkan partai baru. Pelembagaan partai yang masih lemah. Selain itu
Koalisi yang mementingkan sebuah kekuasaan dari pada Ideologi Partai. Dapat
menimbulakan sebuah pemerintahan Terbelah. Inilah yang saat ini terjadi dalam
Indonesia era kepemimpinan Jokowi-JK. Dimana Pemerintahan terbelah telah
terjadi yaitu kekuasaan legislatif yang dikuasai oleh Oposisi Pemerintahan
Jokowi-JK. Selain itu bisa saja terjadinya pemakzulan Presiden oleh partai. Dan
adanya sebuah Kompromi Partai yang saat ini juga masih terjadi. Kompromi partai
adalah sebuah kepentingan partai jauh lebih penting dari pada kepentingan
profesional sehingga Hak Progresif Presiden menjadi hilang. Contohnya dalam
penyusunan Kabinet dan Resufle Kabinet. Dimana Partai Koalisi berperan dalam
mengurusi itu. Disaat Partai tidak dilibatkan dalam penyusunan kabinet dan nama
orang partai yang dapat masuk ke kabinet maka partai bisa saja oposisi dan malah
berbalik menyerang Presiden. Selain itu dalam fenomena pemerintahan terbelah
juga dapat menimbulkan sebuah pengawasan terhadap eksekutif yang sangat ketat
sehingga pemerintahan menjadi tidak efektif. Memang sangat sulit dengan kondisi
yang seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, Indonesia adalah negara berkembang
yang masih menganut sebuah multipartai sehingga memang mengandalkan sebuah
koalisi dalam partai untuk mengusung salah satu calon dalam pemilihan Presiden.
Namun semua itu dapat dikategorikan dalam sistem Presidensil yang memiliki
empat tipologi. Dimana empat tipologi ini akan mencirikan apakah Indonesia
dengan dipimpin Presiden Jokowi dapat menciptakan Presidensil yang Efektif,
ataukan Akomodatif, Konfrontatif atau malah justru Setengah Hati atau reduktif.
Kita telah mengalami sebuah era kepemimpinan SBY yang mungkin bisa di simpulkan
sendiri kira-kira SBY adalah Presiden yang seperti apa dalam memimpin Indonesia
dalam sistem Presidensil. Dan sekarang era Jokowi juga demikian kira-kira
Jokowi termasuk dapat menjalankan sistem Presidensil dengan kategori yang
seperti apa.
Kharisma Firdaus
Ilmu Politik 2011
Menteri Kordinatir Eksternal BEM KM Unair 2014
Komentar
Posting Komentar